Mary Shelley’s Apocalyptic Masterpiece: The Last Man
Overview
Mary Shelley, penulis terkenal dari novel Gotik klasik Frankenstein, juga menjelajah ke dunia fiksi apokaliptik dengan novelnya pada tahun 1826, The Last Man. Karya yang kurang dikenal ini mengeksplorasi tema keruntuhan sosial, wabah, dan kondisi manusia dalam menghadapi kesulitan.
Visi Distopia
Berlatar di Inggris masa depan yang dilanda wabah yang tidak diketahui, The Last Man menyajikan visi suram dan meresahkan tentang kehancuran umat manusia. Protagonis novel, Lionel Verney, menceritakan pengalamannya sebagai manusia terakhir yang masih hidup, menyaksikan disintegrasi sosial dan kebangkitan kultus kiamat yang destruktif.
Wabah dan Kecemasan Victoria
Wabah yang menghancurkan dunia di The Last Man mencerminkan keasyikan era Victoria dengan penyakit dan epidemi. Sifat misterius dari penyakit tersebut, ditambah dengan efeknya yang dahsyat, mencerminkan kecemasan masyarakat yang bergulat dengan kemajuan pesat industrialisasi dan ketakutan akan pergolakan sosial.
Kritik Feminis
Jenis kelamin Shelley memainkan peran penting dalam penerimaan The Last Man. Kritikus pada masa itu menolak karyanya sebagai sesuatu yang tidak layak mendapat perhatian karena statusnya sebagai penulis perempuan. Namun, pembaca modern mengakui novel tersebut sebagai kritik feminis yang kuat terhadap masyarakat patriarki pada masa itu.
Pengaruh pada Genre Apokaliptik
Meskipun awalnya tidak sukses secara komersial, The Last Man memiliki pengaruh yang mendalam pada perkembangan genre apokaliptik. Tema keruntuhan sosial dan perjuangan untuk bertahan hidup telah beresonansi dengan banyak generasi pembaca, menginspirasi banyak novel dan film distopia.
Tema dan Simbolisme
Sepanjang The Last Man, Shelley mengeksplorasi berbagai tema, termasuk:
- Kerapuhan peradaban: Novel ini menggambarkan kemudahan di mana masyarakat dapat runtuh dalam menghadapi kesulitan.
- Kapasitas manusia untuk ketahanan: Terlepas dari suramnya latar, tekad Verney untuk bertahan hidup menyoroti sifat pantang menyerah dari jiwa manusia.
- Peran harapan: Bahkan di masa-masa tergelap, novel ini menunjukkan bahwa harapan bisa menjadi kekuatan yang kuat untuk bertahan hidup.
Perbandingan dengan Frankenstein
Sementara The Last Man dan Frankenstein memiliki beberapa kesamaan, seperti eksplorasi kecemasan sosial dan kekuatan transformatif sains, keduanya berbeda dalam nada dan tema. Frankenstein berfokus pada konsekuensi individu dari keangkuhan ilmiah, sedangkan The Last Man mengambil perspektif yang lebih luas tentang nasib kolektif umat manusia.
Karya Modern
Seiring waktu, The Last Man telah mendapat pengakuan sebagai mahakarya fiksi apokaliptik. Tema keruntuhan sosial, wabah, dan kondisi manusia terus beresonansi dengan pembaca hingga saat ini, menjadikannya karya sastra yang menggugah pikiran dan relevan.